![]() |
Gambar/Ist |
TribunIKN.COM - Aktivitas tambang batubara ilegal atau Penambangan Tanpa Izin (PETI) kembali mencuat di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Meski sebelumnya aparat kepolisian menyegel tambang ilegal di KM 32 Jalan Poros Kelay, operasi serupa justru terpantau kembali — kali ini lebih berani, nyaris berdampingan dengan kawasan padat penduduk dan bahkan berjarak tak jauh dari Pesantren Hidayatullah.
Keberadaan tambang ilegal di dekat kawasan pendidikan agama ini tak hanya mencederai rasa aman masyarakat, tapi juga memunculkan pertanyaan besar: Siapa sebenarnya yang melindungi praktik kejahatan ini?
Polisi Tutup Satu, Muncul Seribu?
Operasi yang dilakukan Polres Berau sebelumnya berhasil mengamankan tiga unit alat berat ekskavator tanpa identitas pemilik. Lokasi alat berat berada di lahan yang diklaim milik PT Berau Coal, namun digunakan untuk aktivitas ilegal. Namun penindakan itu tampaknya belum menyentuh akar persoalan. Praktik tambang ilegal kini bermigrasi ke lokasi lain — kali ini tak jauh dari Pos Sabhara Polres Berau sendiri.
Ironis? Justru lebih dari itu. Keberanian para pelaku menggelar operasi tambang hanya beberapa ratus meter dari kantor aparat penegak hukum mengindikasikan adanya kelonggaran — atau mungkin, pembiaran.
Ada Jetty, Ada "Dokumen Terbang"
Ketua Perkumpulan Aktivis Daerah Hutan Indonesia (PADHI), Mus Gaber, secara terbuka mengecam keras aktivitas PETI yang semakin merajalela. Ia menyebut adanya jetty ilegal di kawasan Letter S yang diduga digunakan untuk penampungan dan pengiriman batubara hasil tambang ilegal ke tongkang.
“Kita minta dengan tegas agar Polda Kalimantan Timur dan Polres Berau segera bertindak. Jangan hanya main di permukaan. Tangkap dan tetapkan pelaku sebagai tersangka,” tegas Mus Gaber kepada media.
Informasi yang diperoleh redaksi menyebut seorang pemain berinisial "M" berada di balik operasi ini. Ia diduga mengelola pengiriman batubara dengan dokumen palsu, atau dalam istilah lapangan disebut “dokumen terbang.” Satu tongkang dikabarkan bisa diisi penuh hanya dari satu siklus tambang, yang operasinya dilakukan diam-diam saat malam.
Kapolda Turun Gunung, GPK RI Minta Bareskrim Turun Tangan
Kehadiran Kapolda Kalimantan Timur di Berau pada Rabu, 16 Juli 2025, menimbulkan spekulasi bahwa pihak kepolisian mulai merespons tekanan publik. Namun, hingga kini, belum ada pernyataan resmi terkait hasil kunjungan tersebut.
Komite Nasional Gerakan Pemerhati Kepolisian Republik Indonesia (GPK RI) pun turut angkat suara. Ketua GPK RI, Abdullah Kelrey, mendorong Bareskrim Mabes POLRI untuk segera menginstruksikan Polda Kaltim membongkar jaringan di balik praktik tambang ilegal yang kian sistematis.
“Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas. Negara dirugikan, rakyat jadi korban. Ini bukan hanya kejahatan lingkungan, tapi kejahatan terorganisir yang harus diusut sampai ke aktor utamanya,” ujar Kelrey.
Pertanyaan Terbuka: Ke Mana Arah Penegakan Hukum?
Berulangnya praktik tambang ilegal dengan pola yang sama, ditambah keberanian pelaku beroperasi di dekat institusi hukum, menunjukkan adanya kelemahan sistemik dalam penegakan hukum di daerah ini. Apakah ada pembiaran? Apakah ada oknum aparat yang bermain mata?
Publik berhak tahu.
Satu hal yang pasti, tambang ilegal bukan hanya merusak lingkungan dan mengancam keselamatan warga sekitar — ia juga mencoreng wajah hukum dan keadilan di republik ini.